Saya akan berbagi pengalaman saya sejak mempersiapkan diri (kursus bahasa) sampai akhirnya tiba di Jerman dan memulai keseharian sebagai Assistenzarzt di Jerman.
1. Persiapan bahasa
Tanpa benar-benar merencanakan untuk melanjutkan pendidikan spesialis di Jerman, saya memulai kursus bahasa Jerman sejak tahun kedua pendidikan dokter umum. Saya kebetulan termasuk pribadi yang senang mempelajari bahasa asing dan karena saya sempat berkeinginan untuk sekolah kedokteran di Jerman, saya memutuskan untuk memenuhi hasrat belajar bahasa Jerman yang tertunda. Bahasa Jerman termasuk bahasa yang relatif kompleks dari segi tata bahasa. Oleh karena itu saya menyarankan belajar bahasa Jerman sedini mungkin, terutama jika memang sudah ada keinginan untuk melanjutkan pendidikan di Jerman. Toh kemampuan bahasa asing selalu menjadi nilai lebih di CV, meskipun pada akhirnya kita mengurungkan niat melanjutkan pendidikan ke Jerman. Memulai sedini mungkin juga memberikan kita kesempatan untuk belajar sedikit demi sedikit. Memang ada kursus intensif dan semiintensif yang ditawarkan oleh lembaga kursus sehingga kita bisa mencapai level yang diinginkan (level B2/intermediateakhir) dalam waktu 6 bulan. Namun, dengan kompleksitas tata bahasa Jerman, kita akan lebih mudah mencerna jika kita memiliki lebih banyak waktu. Pada akhir pendidikan dokter umum saya sudah lulus ujian level C1 (advanced awal).
2. Mencari lowongan pekerjaan
Saya mengawali pencarian saya dengan mempersiapkan surat lamaran dalam bahasa Jerman, CV singkat dalam bahasa Jerman dan hasil pindaian sertifikat bahasa. Penting untuk mempersiapkan isi surat lamaran dan CV sendiri karena yang akan diwawancara nantinya adalah kita sendiri dan kita harus bisa mempertanggungjawabkan apa yang kita tulis dan kita cantumkan. Tips untuk CV: singkat, padat, berikan foto dan lückenlos (tidak ada periode menganggur). Selanjutnya saya mulai mencari lowongan di dunia maya. Laman www.aerzteblatt.de adalah salah satu sumber lowongan pekerjaan yang cukup komprehensif. Google tentu saja juga dapat membantu. Setelah 2 tahun mencari lowongan dan tidak membawa hasil (tidak intensif, karena saya juga sembari bekerja di fakultas dan sebagai dokter umum di PKM dan klinik swasta), saya memutuskan untuk melakukan sesuatu. Saya harus berangkat ke Jerman dengan cara apapun. Pada saat itu saya mencari summer course bahasa di laman DAAD,karena ingin pada saat yang bersamaan memperbaiki kemampuan bahasa jerman saya. Satu-satunya summer courseyangmungkin saya hadiri saat itu (karena masalah waktu pengurusan visa dsbnya) berlangsung di Gießen pada bulan September. Pada saat yang bersamaan, saya mendapatkan info bahwa pada awal Oktober akan berlangsung ESC (European Student Conference) di Berlin dengan tema sel punca dan kedokteran regeneratif. Sebuah tema yang memang saya minati. Semakin mantap persiapan saya untuk berangkat ke Jerman. Pada saat itu melalui Google saya mendapatkan info bahwa di Uniklinik Magdeburg sedang ada lowongan sebagai AA di Kardiologie. Saya berencana untuk melamar ketika saya sudah berada di Jerman dan sekalianmenawarkan diri untuk Vorstellungsgespräch(wawancara). Hal yang sulit saya lakukan jika melamar dari Indonesia.
3. Mendapatkan lowongan
Pada saat persiapan menuju Gießen dan Berlin, sayaberkesempatan berkenalan dengan seorang mahasiswa kedokteran asal Taiwan melaluiakun Facebook panitia ESC. Ia pernah berkunjung ke Indonesia dalam rangka lombapresentasi penelitian yang kebetulan juga diadakan oleh organisasi penelitianyang saya ikuti. Dari sana saya menceritakan keinginan saya untuk melanjutkanspesialis di Jerman. Ia bercerita bahwa ia pernah melakukan program pertukaranpelajar di Jerman dan memiliki hubungan baik dengan Chefarzt(direktur) di Kardiologie, Uniklinik Magdeburg.Benar-benar sebuah kebetulan yang luar biasa. Dari rekan saya ini saya bisamendapatkan kesempatan untuk mendapat lowongan di Uniklinik Magdeburg. Di sini saya ingin menekankan kembalibetapa besar peran niat dan tekad. Saya pribadi percaya jikakita memang sudah membulatkan tekad, pasti akan ada jalan. Jika saya bertukar ceritadengan beberapa teman sesama AA dari Indonesia, banyak cerita-cerita menarik yangsaya peroleh mengenai bagaimana mereka bisa mendapat jalan untuk bekerja diJerman. Oleh karenaitu, jangan khawatir tentang bagaimana Anda bisa mencapai Jerman, tapipersiapkanlah diri Anda dengan matang. Peluangtersebut akan muncul dengan sendirinya.
4. Persiapan dokumen dan kelengkapan lainnya
Karena Magdeburg secara geografis adalah bagian dari negara bagian Sachsen-Anhalt, maka setelah berkontak via E-mail dengan bagian kepegawaian, saya diminta untuk mengurus pembuatan Berufserlaubnis(SIP sementara) di Landesprüfungsamt (LPA). Untuk pengurusan Berufserlaubnis ini saya diminta untuk menyerahkan berbagai dokumen (ijazah, akte lahir, dsbnya) yang harus diterjemahkan dalam bahasa Jerman oleh penerjemah tersumpah dan bukti bahwa saya sudah mendapatkan lowongan pekerjaan di Jerman. Berdasarkan info yang saya peroleh, akte lahir dan ijazah harus dilegalisir oleh kementerian hukum dan kementerian luar negeri. Hal ini diperlukan jika anda ingin mendapatkan legalisir dokumen ybs dari kedutaan Jerman. Proses pengurusan ini sangat transparan dan tidak memerlukan calo sama sekali. Saya mendapatkan sedikit kesulitan dalam proses legalisir dan pengiriman salinan dokumen, karena LPA meminta semua salinan dokumen yang dikirimkan harus dilegalisir oleh kedutaan besar Jerman/notaris. Sementara menurut info dari kedutaan mereka tidak dapat melegalisir semua dokumen. Alternatif lain adalah menunjukkan dokumen tersebut langsung di LPA. Alhasil saya terbang ekstra ke Jerman hanya untuk menunjukkan dokumen asli. Kebetulan karena saya belum sempat Vorstellungsgespräch dengan Chefarzt saya, maka saya menawarkan diri untuk wawancara. Keseluruhan proses mulai dari komunikasi, legalisir dokumen, penerjemahan dokumen sampai saya mendapatkan Berufserlaubnis berlangsung selama 6 bulan. Jika semua sudah dipersiapkan dengan baik, tentu akan lebih cepat. Jika Anda berada di Jerman, mungkin keseluruhan proses hanya memakan waktu 2 bulan. Setelah saya mendapatkan Beruferlaubnis, saya melanjutkan ke pengajuan visa di kedutaan besar Jerman. Untuk pengajuan visa, saya harus mencari tempat tinggal dan menunjukkan kontrak tempat tinggal sementara ke kedutaan. Proses ini berlangsung cukup cepat hanya sekitar 3 minggu dan pada akhir September 2012 saya berangkat ke Jerman.
5. Proses adaptasi dengan sistem PPDS di Jerman
Pada tahap awal saya mendapatkan Halbestelle(kontrak kerja dengan waktu kerja 50% dari waktu kerja normal/kerja paruh waktu). Sebelum memulai pekerjaan saya harus mendaftarkan diri di Burger Büro (kantor pelayanan kependudukan) kemudian saya harus mendapatkan NPWP di Finanzamt, terdaftar di asuransi kesehatan milik pemerintah (gesetzliche Krankenversicherung) dan dana pensiun (Renteversicherung). Pajak, premi asuransi dan dana pensiun akan dipotong langsung dari gaji saya setiap bulan. Dalam semua proses ini saya sangat dibantu oleh bagian kepegawaian di klinik. Jadi sekali lagi, jangan khawatir, kita pasti akan dibantu. Setelah semua dokumen terpenuhi, saya mulai bekerja. Pada awalnya saya diminta untuk mempelajari bagaimana sistem bekerja mereka dan diminta untuk mengikuti kolega yang lebih berpengalaman. Selama saya bekerja paruh waktu, saya diberi kesempatan untuk belajar melakukan anamnesis dalam bahasa Jerman, menulis Entlassungsbrief(surat ringkasan perawatan pasien selama di RS untuk Hausarzt), dsbnya. Karena saya hanya bekerja setengah hari, siang-sore hari saya manfaatkan untuk memantapkan bahasa jerman saya dengan mengikuti kursus bahasa. Tuntutan kerja di dunia kesehatan memang selalu tinggi, dan di Jerman tuntutan untuk bekerja dengan lege artis,hygienis dan evidence-based juga sangat tinggi. Kesulitan terbesar saya adalah bekerja dan berpikir dalam bahasa jerman, karena saya masih terbiasa untuk berpikir dalam bahasa indonesia dan kemudian menerjemahkan ke dalam bahasa jerman, sementara kita harus bekerja dengan cepat. Namun, saya terus mendapat dukungan dari rekan-rekan kerja dan perawat sehingga dalam 6 bulan saya mulai terbiasa dengan ritme kerja mereka. Setelah saya bekerja full-time, saya mulai bekerja sebagai Stationsarzt, kemudian saya mulai jaga malam. Jumlah jaga saya 3-4 kali/bulan, dan setelah jaga malam, saya mendapatkan Dienstfrei (hari bebas kerja). Perbedaan dengan PPDS di Indonesia, saya bertanggung jawab sendiri untuk seluruh pasiendi bangsal danintermediate care/CCU dan tidak memiliki tim jaga.
6. Ujian penyetaraan dan pengakuan sebagai dokter di Jerman
Hampirsemua negara bagian di Jerman saat ini telah menjalankan peraturan baru.[ Sejak tahun 2012 semua dokter lulusan negara ketiga akan mendapatkan Berufserlaubnisselama kurun waktu tertentu (6 bulan-2 tahun). Sebelum masa berlaku Berufserlaubnis kita habis, kita wajib untuk mengajukan diri untuk mengikuti ujian penyetaraan (Gleichwertigkeitsprüfung). Ujian ini saat ini terdiri atas ujian pasien (presentasi pasien dan diskusi kasus berorientasi pasien) dan sesi tanya jawab yang meliputi kasus-kasus yang sering ditemui/wajib diketahui dokter (penyakit dalam dan bedah). Saya menjalani ujian ini pada bulan Agustus 2014. Kesan saya ujian ini seperti ujian pasien pada saat koas. Pertanyaannya berorientasi pada kompetensi dokter umum dan penguji juga menanyakan hal-hal yang seharusnya kita ketahui sebagai dokter umum. Setelah lulus ujian penyetaraan, kita dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh SIP/Approbation als Arzt. Dengan Approbation ini kita sudah dianggap setara dengan dokter lulusan Jerman dan bebas bekerja di negara bagian manapundi Jerman.
7. Hal-hal lain
Selainmasalah medis, banyak hal-hal baru yang saya pelajari selama saya di Jerman. Saya belajar bagaimana hidup sendiri, mengurus kesehatan sendiri, membagi waktu antara pekerjaan, pengembangan diri/belajar dan pekerjaan di rumah dan belajar menjadi minoritas. Semua itu tidak mudah karena seringkali saya pulang ke rumah dengan keadaansuper lelah setelah seharian bekerja dan masih banyak hal yang harus dibereskan di rumah. Banyak hal-hal kecil yang membuat kita semakin menghargai rumah/tanah air, seperti betapa mudahnya mendapatkan sayuran diIndonesia, keberadaan teman-teman, bioskop dan mall yang serba ada, starbucks, dll. Semakin kecil kota yang kita tinggali, maka semakin besar kemungkinan di kota tersebut tidak ada toko yang menjual bahan-bahan kebutuhan dari asia. Semua itu menuntut fleksibilitas dan pengorbanan dan untuk beberapa orang mungkin perlu menjadi bahan pertimbangan. Pada awalnya saya cukup kesulitan untuk mengerti pembicaraan lebih dari dua arah, kesulitan untuk mengerti humor orang Jerman dan saya yakin rekan-rekan kerja saya juga kesulitan untuk mengerti saya, apalagi kebetulan saya termasuk orang yang introvert. Untuk saya, waktulah yang menjadi jawaban. Seiiring dengan berjalannya waktu, saya semakin diterima dan perlahan menjadi bagian dari keluarga besar di klinik saya. Hal yang saya pelajari adalah jadilah pribadi yang lebih terbuka dan jangan merasa minder/rendah diri karena berada di negeri orang. Kita memiliki hak yang sama dengan mereka.
Demikianlah sedikit pengalaman saya selama dua tahun menjadi AA di Jerman. Mudah-mudahan bisa memberikan gambaran bagi rekan-rekan yang ingin melanjutkan pendidikan spesialis di Jerman.
Salam sejahtera.